Jumat, 26 Februari 2010

Restrukturisasi Kepemimpinan Sebuah Sunnahtullah

oleh H. MG Hadi Sutjipto *)

”Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)” (Al-Qashash: 5)

SUKSESI pergantian pimpinan suatu negeri dan daerah bukanlah sesuatu yang istimewah dalam sejarah sebuah bangsa atau masyarakat. Sebab suksesi telah menjadi bagian sejarah manusia sejak mengenal budaya.

Pembuktian adanya suksesi terlihat dari beberapa luki-san pra-sejarah, yang banyak ditemukan di daratan E-ropah dan Amerika. Namun bentuk suksesi di jaman pra-sejarah itu ditafsirkan banyak ahli sejarah dunia, sebagai suksesi yang masih bersifat liar dan tak bersistem. 

Tahta pemimpin dalam sebuah kelompok manusia purba lebih ditentukan oleh kekuatan, keberanian, dan kemampuan bertanggungjawab atas kelompoknya.

Sejalan dengan perkembangan budaya yang dimiliki umat manusia, maka peristiwa suksesi pun secara pelahan bergeser menjadi sebuah sistem yang disepakati dan dijunjung mayoritas anggota masyarakat sebuah kelompok dan komunitas. Dari sistem kesepakatan bersama yang nantinya disebut sebagai adat budaya itu, maka kerangka pendirian sebuah negara pun terbentuk.

Kendati demikian, semua sistem suksesi yang berlangsung sebelum kemunculan Islam boleh disebut jauh dari nuansa kedemokrasian dalam arti sesungguhnya, bahkan di masa kejayaan Kerajaan Yunani sebagai tempat lahirnya istilah demokrasi (baca: ’demos’ dan ’kratos’). Dalam praktiknya sistem suksesi secara demokratis hanyalah sekedar wacana yang kering implementasi dan realisasi. Sebab mayoritas suksesi di Kerajaan Yunani, selalu dikisahkan berlumuran darah akibat intrik politik yang berakhir pada peristiwa makar dan penggulingan pemerintahan sah sebelumnya.

Sedangkan suksesi pasca wafatnya Rasulullah Muhammad SAW terselenggara dalam nuansa demokratis yang sangat kental. Dalam penunjukan Abu Bakar As Sidiq sebagai Khalifah, mengisi posisi Rasulullah yang lowong. Sistem yang berlangsung saat itu, masyarakat Jazirah Arab melaksanakan pemilihan pemimpin (kha-lifah) secara struktur dan tertatah dalam sistem berjenjang. Diawali dengan penyampaian suara masya-rakat umum ke kabilahnya. Suara mayoritas yang diha-silkan kemudian dibawah para pemimpin kabilah da-lam sebuah musyawarah (syuro). Hasil kesepakatan syuro adalah memilih (memba’iat) Abu Bakar As-Sidiq sebagai Khalifah menggantikan Rasulullah Saw.

Kepemimpinan (kekhalifahan) dalam Islam sangatlah penting, karena posisi itu lebih dari sekedar tugas dan tanggung jawab. Posisi Khalifah lebih bersifat amanah atau kepercayaan, yang harus diemban sebaik-baiknya. Karena itu, pemimpin (imam) semacam itu harus di-cari” melalui sebuah proses pemilihan umum yang ju-jur, adil dan demokratis disertai hati yang tulus tanpa unsur paksaan apalagi politik uang (money politics). Tujuannya hanya satu, menemukan pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan terbaik dalam rangka perbaikan ummat.

Berdasar dari kriteria kepemimpinan yang lebih ber-sifat amanah untuk perbaikan umat, maka pedoman memilih calon pemimpin dan tatacara suksesi tak boleh lepas dari Al-Quran dan Sunnah Rasul. Ini karena da-lam Quran secara gamblang banyak tersurat tentang pedoman memilih pemimpin yang amanah, yang diis-tilahkan dalam sebutan Khalifah, Imam dan Ra’in. Ti-ga sebutan itu dalam praktiknya merupakan sebuah ke-satuan yang tak bisa dipisahkan, karena ketiga sebutan itu merupakan cermin dari sosok pemimpin amanah yang diridhoi Allah Swt.
Legitimasi
Sosok pemimpin yang amanah itu dalam Al-Baqarah 30, disebutkan: ”Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu ber-firman kepada malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi ... Ayat ini menjelaskan kriteria uta-ma pemimpin adalah kesadarannya akan peran dan fungsinya sebagai Khalifah atau wakil Allah. Artinya, sang pemimpin diwajibkan menjalankan amanahnya untuk melayani dan membenahi masyarakat, disertai visi dan misi ke-Illahiyahan (Ketuhanan) dalam bentuk beragam kegiatan untuk masyarakat muslim yang cer-das dan intelektual.

Dengan demikian, pemimpin tepilih akan memiliki legitimasi kepemimpinan yang sangat kuat. Kondisi itu perlu di tambah dengan visi misi yang tajam dan ke-mampuannya dalam menjelaskan konsep-konsep Islam, sebagai solusi untuk perbaikan di masyarakat yang lebih baik. Dampaknya, keunggulan itu kian berpe-luang untuk mendapatkan pengakuan dari khalayak u-mum sebagaimana para malaikat memberikan penga-kuan kepada Nabi Adam a.s (Al-Baqarah: 30-34)

Sedangkan istilah Imam terurai dalam Al-Furqon: 74 yang menegaskan, bahwa pemimpin amanah hen-daknya dipilih untuk memimpin sebuah masyarakat yang kental ketaqwaan pada Allah. Sedikit kutipan ayat ini, ”.. jadikanlah kami pemimpin (imam) bagi orang-orang yang bertaqwa…’’

Dalam ayat itu tesirat, bahwa Allah membuka kesem-patan seluas-luasnya bagi hamba-Nya untuk menjadi pemimpin dan juga mengisyaratkan predikat taqwa yang disandang dan dimiliki serta rasa tanggung jawab tinggi.  Karena itu, seorang pemimpin hendaknya lebih meperhatikan fakir miskin yang termarjinalisasi, sehingga dapat membangun sebuah masyarakat yang adil dan makmur dalam nuansa Islam.

Kriteria diatas merupakan hal yang mutlak harus dimi-liki seorang pemimpin. Selain itu,  seorang pemimpin wajib mempunyai visi-misi yang tajam dan mampu  memberikan solusi terhadap permasalahan sosial, ekonomi dan budaya hingga dunia pendidikan.

Menjadi Panutan
Karena itu, pemimpin yang berperan sebagai Imam, pertama-tama haruslah menjadi panutan masyarakat yang dipimpin. Sebagaimana Nabi Ibrahim as menjadi tauladan dalam hal ketaatan, kehanifan, ketauhidan dan kemuliaan akhlaknya, mensyukuri nikmat Allah SWT.

Sungguh, Ibrahim adalah Imam (Pemimpin) yang da-pat dijadikan teladan, patuh kepada Allah SWT dan hanif . Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik. (An-Nahl: 120)

Peran dan fungsi ke-Imam-an dari seorang pemimpin, secara kongkrit dapat dilihat pada imam sholat. Kriteria Imam sholat ialah lebih berilmu atau lebih fasih baca-annya. Begitu selektifnya, mengingat beratnya tang-gung jawab seorang imam maka harus yang tafaqquh fid-din”, yaitu orang yang memahami, memaknai dan mendalami agama. Sehingga tidak menjadikan posisi I-mam sebagai ajang perebutan kekuasaan. Menunjuk  Imam dengan tulus dan ma’mum pun menerima posisi mereka dengan rela hati dan ikhlas.

Satu lagi yang menarik, imam tidak sunyi dari koreksi ma’mum bilamana lupa atau salah, maka bersedia di-ingatkan. Karena itu, jika kita melaksanakan sholat te-pat dibelakang posisi imam biasanya didampingi orang yang mempunyai keilmuan yang tinggi pula dibela-kangnya agar dapat mengingatkan apabila terjadi ke-salahan gerakan dan bacaan.

Biasanya posisi shaff pertama diisi oleh orang-orang baik yang mempunyai pemahaman Islam, karena me-reka bertanggung jawab untuk mengawal dan mengi-kuti proses sholat agar berjalan dengan baik. Bahkan ketika imam berada dalam situasi yang menyebabkan wudhunya batal, imam dengan legowo mundur untuk digantikan ma’mum dibelakangnya. Ini mengindikasi-kan bahwa pemimpin harus dekat kepada para ulama dan ustadz disekelilingnya, sehingga kelak memiliki integritas, moralitas dan kejujuran yang tinggi.

Ke-Ra’in-an : Ra’in berasal dari kata Ra’a-yara-Ra’-yan, yang bermakna pengembala. Rasulullah SAW da-lam sebuah hadist menggunakan kata ini untuk menun-jukan fungsi pemimpin.Setiap kamu adalah pengem-bala dan setiap kamu akan diminta pertanggung jawa-bannya. Seorang pemimpin adalah pengembala bagi rakyatnya, maka ia akan ditanya tentang apa yang di-gembalakannya”(HR. Ahmad)

Pada fungsi ke-Ra’in-annya, dituntut dari seorang pe-mimpin kemampuannya untuk membenahi sistem pe-merintahan yang lebih baik dan mengarahkan rak-yatnya menuju perbaikan umat. Ia seorang leader yang berpengalaman dalam memimpin anak buahnya dan memahami prinsip-prinsip leadership, yang kelak akan bertanggung jawab terhadap nasib rakyatnya. Ia juga adalah orang yang mengerti betul kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat yang bersifat kekinian dan berorientasi masa depan yang lebih baik. Selain itu, selalu berem-pati (peduli) terhadap masyarakat tertindas (termar-jinal). Karena itu, wajib merakyat berada di tengah-te-ngah rakyatnya, sehingga tahu dan mengerti betul apa yang diinginkan rakyatnya.



*) Penulis adalah Ketua Takmir Masjid Agung, Sidoarjo, yang kini maju dalam Pilkada Sidoarjo 2010 sebagai Calon Wakil Bupati
 

JANGAN BIARKAN WAKTU MERUGI DATANG...

KATEGORI

© 3 Columns Newspaper Copyright by TRIBUNRELIGI.COM | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks